Untuk kali ini, Kidung Kawan akan memposting Legenda Ciung Wanara bagian terakhir. Bagi Anda yang ingin membaca bagian pertama, Anda dapat membacanya
di sini. Selamat membaca:
Waktu berjalan terus, si Utun semakin besar. Ia sering membantu orang tuanya mencari kayu di hutan. Berbagai jenis unggas yang ada di hutan tersebut sangat menarik perhatiannya. Juga kera yang sangat lincah bergelayutan dari satu pohon ke pohon yang lain. Nama kedua binatang itu ditanyakan kepada ayah angkatnya, "Utun, burung yang berbulu indah itu namanya burung Ciung, yang bergelayutan dengan gesit itu namanya Wanara." Tiba di rumah Utun masih terkesan dengan kedua binatang yang dilihat di hutan tadi. Lalu ia mengusulkan kepada ayahnya agar namanya diganti dengan nama kedua binatang tadi. Ayahnya menyetujui, sejak saat itulah si Utun berganti nama menjadi Ciung Wanara.
Dewi Pangrenyep di istana Galuh telah melahirkan seorang putra laki-laki yang sehat dan tampan. Anak itu diberi nama Joko Suruh. Dewi Pangrenyep sangat bahagia. Dapat dipastikan putranya kelak menggantikan Prabu Silih Wangi II.
Hari berganti tahun berlalu, Ciung Wanara telah menjadi pemuda dewasa, tampan, dan berbudi luhur. Ciung Wanara sering pergi menyendiri di tempat-tempat yang sunyi.
Pada suatu hari, ketika ia sedang berjalan-jalan di sepanjang bukit pasir, ia menemukan sebutir telur. Kemudian telur itu dibawa pulang. Malamnya ia bermimpi ditemui seekor naga besar, kulitnya belang-belang. Pesan naga itu agar telur yang ditemukan itu dibawa ke Gunung Padang akan dierami oleh ular tersebut. Telur itu kelak akan menjadi ayam jantan tak terkalahkan.
Pagi-pagi benar Ciung Wanara segera berangkat ke Gunung Padang. Dicarinya tempat naga yang dijumpai dalam mimpi itu. Setelah ditemukan, telur yang dibawa itu diserahkan kepada naga yang sebenarnya Jaka Poleng.
Dari naga itulah Ciung Wanara mengetahui bahwa dirinya yang sebenarnya. Bahwa dirinya putra raja Galuh dari permaisuri Dewi Ningrum. Ibundanya itu sekarang sedang bertapa di hutan Larangan. Setelah cukup waktu menetaslah telur yang dierami Joko Poleng. Telur itu menetas menjadi seekor ayam jantan yang tangguh.
|
Ilustrasi bersumber dari Google |
Ayam jago tersebut milik Ciung Wanara. Ayam tersebut menjadi ayam aduan yang tak terkalahkan. Adu ayam sudah menjadi kebiasaan masyarakat pada waktu itu. Demikian juga dengan Ciung Wanara, ia mengembara hampir ke seluruh pelosok kerajaan, untuk menyabung ayamnya yang belum pernah kalah. Raja Silih Wangi II mendengar kehebatan ayam milik Ciung Wanara. Raja bermaksud mengundang Ciung Wanara untuk mengadu ayamnya dengan ayam jago kepunyaan raja. Taruhannya, jika raja kalah maka raja rela menyerahkan separoh kerajaan di bagian barat kepada Ciung Wanara. Sebaliknya jika Ciung Wanara kalah, dia rela dibunuh.
Pada saat yang ditentukan, adu ayam itu dimulai. Kedua ayam saling berusaha mengalahkan lawannya. Setelah beberapa lama, ternyata ayam raja kalah. Terpaksa raja menepati janjinya. Separoh kerajaan bagian barat diserahkan kepada Ciung Wanara. Dengan terbaginya kerajaan Galuh Barat dan Timur timbul pertentangan antara Ciung Wanara dan Joko Suruh, di bagian Timur.
Joko Suruh merasa dirugikan dengan pembagian itu maka dari itu ia selalu berusaha untuk membunuh Ciung Wanara dengan segala tipu muslihatnya. Namun tidak pernah berhasil. Perang saudara tidak dapat dihindari lagi. Kedua putra raja itu akhirnya sepakat membuat perjanjian, isinya:
1. Mereka tidak akan melanggar batas wilayah masing-masing yang dibatasi Sungai Pamali.
2. Mereka tidak akan membuat bangunan dengan bahan yang sama. Misalnya, salah satu sudah menggunakan genting yang lain harus menggunakan sirap atau ijuk.
Meskipun telah ada perjanjian, namun ramalan Resi Sidi Wacana ternyata benar. Selalu ada pertentangan di antara keduanya. Keadaan semacam ini melemahkan kerajaan Galuh Pakuwon. Raja Silih Wangi II menyerahkan pemerintahan kepada kerajaan Singosari di Jawa Timur. Sedangkan Ciung Wanara mendirikan kerajaan di Pajajaran (Jawa Barat) dengan gelar Raja Siliwangi.
Tamat.