Di bawah ini adalah sebuah legenda mengenai Ciung Wanara bagian pertama yang merupakan Raja Siliwangi pendiri Kerajaan Pajajaran (Jawa Barat). Selamat membaca:
Kerajaan Daha yang ada di daerah Jawa Timur, waktu itu diperintah oleh Raja Kameswara. Sang Raja memerintah kurang bijaksana sehingga banyak kekecewaan yang dialami rakyat. Akibatnya timbul kelompok-kelompok pemberontak.
Salah satu kelompok yang tidak puas dipimpin oleh Srengga berasal dari Worawari. Kelompok ini sangat kuat dan ganas. Maka raja meloloskan diri dari istana diikuti permaisuri Dewi Ningrum dan selir Dewi Pangrenyep.
Beberapa prajurit yang setia ikut serta, juga patih Pakebonan. Setelah berhari-hari dalam perjalanan sampailah mereka di daerah Jawa Tengah, tepatnya di daerah Bumiayu. Di situ Sang Raja bermaksud mendirikan kerajaan baru. Patih Pakebonan disuruh mencari tempat yang baik. Lalu ditemukan tempat yang dinilai baik, terletak di lereng gunung menghadap ke laut. Tempat itu kemudian disebut Gunung Segara.
Raja menyetujui maka dimulailah membangun istana baru. Selesai membangun, ibu kota tempat itu dinamakan Gunung Pakuwon. Raja bergelar Prabu Silih Wangi.
Suatu saat Raja Silih Wangi memanggil seorang resi. Namanya Resi Sidi Wacana. Raja meminta agar Sang Resi meramalkan kerajaannya di masa yang akan datang. "Daulat tuanku, menurut petunjuk yang hamba terima, pada masa yang akan datang kerajaan tuanku akan menjadi persengketaan, akan timbul kekacauan yang diakibatkan oleh pertentangan saudara dan putra-putra tuanku sendiri," kata Sang Resi.
Mendengar jawaban yang mencemaskan itu, raja menjadi gusar. Resi Sidi Wacana dituduh sebagai pendeta palsu. Timbul niatnya untuk menguji kesaktian resi itu. Disuruhnya permaisuri dan selirnya berdandan layaknya orang hamil. Lalu Dewi Ningrum menyubal perutnya dengan bokor. Dewi Pangrenyep menggunakan kuali kecil. Setelah kedua istrinya selesai berdandan, raja memanggil Resi Sidi Wacana, "Sang Resi yang sakti, aku ingin tahu akan lahir laki-laki atau perempuaan anakku nanti?"
Berkata Resi Sidi Wacana, "Daulat Tuanku, bayi yang dikandung istri tuanku akan lahir laki-laki semua," jawab Sang Resi. Bukan main marahnya Sang Raja, karena merasa ditipu. Dia tak sadar bahwa dia sendiri yang telah menipu resi itu. Lalu Sang Resi dibunuhnya.
Sebelum Resi itu menghembuskan napas yang terakhir, ia masih sempat menasihati agar raja bertindak bijaksana, menjauhi sifat-sifat angkara murka. Setelah selesai berpesan, resi itu wafat.
Raja segera menyuruh prajurit untuk memakamkan jenazah Resi Sidi Wacana. Namun keajaiban terjadi, jasad Resi Sidi Wacana tiba-tiba berubah menjadi ular naga raksasa yang berkulit belang-belang (poleng-poleng). Seluruh istana ketakutan lalu Raja memberi nama ular itu Joko Poleng. Ular besar itu lalu mengelosor pergi, kembali ke tempat bertapa semula yaitu ke Gunung Padang.
Beberapa waktu setelah kejadian itu, permaisuri dan selir raja benar-benar mengandung. Timbul penyesalan dalam hati raja yang terlanjur membunuh Resi Sidi Wacana. Lalu bokor dan kuali yang dipakai istrinya dulu diperintahkan agar dibuang. Bokor di buang ke tengah hutan. Tempat itu sekarang menjadi Kedung Bokor. Kuali dibuang ke arah barat dan jatuh di wilayah Ciamis, sekarang disebut desa Kawali.
|
Legenda Ciung Wanara (Bagian Pertama) |
Kandungan permaisuri makin lama makin besar. Raja makin gelisah, terbayanglah seluruh kekejamannya di masa lalu. Setiap saat raja memohon ampun kepada Tuhan atas kesewenang-wenangannya di masa yang lalu.
Untuk menentramkan hatinya, raja memilih meninggalkan istana. Ia akan hidup sebagai pertapa. Pemerintahan diserahkan kepada adiknya yaitu Patih Pakebonan. Adiknya juga diserahi tugas menjaga selir dan permaisurinya yang sedang mengandung. Dalam menjalankan pemerintahan itu Patih Pakebonan bergelar Prabu Silih Wangi II.
Setelah raja yang pertama meninggalkan istana beberapa waktu lamanya, permaisuri merasa akan melahirkan. Dewi Ningrum mengalami kesulitan waktu melahirkan sehingga dia pingsan. Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh Dewi Pangrenyep. Ia menyuruh orang kepercayaannya untuk membuang Dewi Ningrum dan bayinya di tengah hutan. Waktu itu Raja Silih Wangi II sedang tidak ada di istana. Ketika raja kembali ke istana, Dewi Pangrenyep menceritakan bahwa permaisuri telah melahirkan seekor anjing. Maka agar istana tidak terkena aib sebaiknya permaisuri dan anjing yang dilahirkan dibuang saja ke tengah hutan. Mendengar keterangan Dewi Pangrenyep, raja sangat setuju.
Dewi Pangrenyep gembira ketika akal liciknya berhasil. Sementara itu abdi yang disuruh membunuh Dewi Ningrum dan putranya telah sampai di hutan. Penggawa itu tidak tega membunuh orang yang tidak berdosa. Disarankan kepada Dewi Ningrum agar bertapa di tempat yang tersembunyi. Tempat itu kemudian dinamakan hutan Larangan. Sedang bayi yang dilahirkan dimasukkan ke dalam kendaga lalu dihanyutkan ke sungai.
Kendaga itu bentuknya bulat seperti nanas dan tidak akan tenggelam. Jauh di muara sungai ada seorang pencari ikan bernama Balangantran. Waktu itu ia akan turun ke sungai mencari ikan. Dilihatnya ada benda mengapung-apung di sungai. Ia segera turun dan mendapatkan kendaga itu. Hati-hati dibukanya kendaga itu, ternyata berisi bayi lelaki yang sehat. Balangantran cepat-cepat pulang mendapatkan istrinya. Kedua suami istri itu sangat gembira, telah lama mereka berumah tangga belum juga dikaruniai anak. Bayi temuan itu lalu diberi nama si Utun. (bersambung)...
Demikianlah legenda Ciung Wanara bagian pertama.
Untuk lanjutannya akan diposting di lain waktu. Bagi Anda yang ingin membaca kelanjutan legenda Ciung Wanara, Anda dapat membacanya
di sini.