Di bawah ini adalah kisah tentang hikmah menyantuni keluarga. Semoga kisah tersebut dapat memberikan hikmah (pelajaran) untuk kita semua. Selamat membaca:
Di suatu pagi hari, Sayyidina Ali Karomallahu Wajhah bertemu dengan Salman al-Farisi, ayah Abdillah.
"Hai ayah Abdillah, bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Sayyidina Ali kepada Salman al-Farisi.
"Memasuki pagi hari ini aku berada di antara empat kesedihan, ya amirul mukminin," jawab Salman al-Farisi.
"Apa saja kesedihan itu?" tanya Sayyidina Ali.
"Pertama sedih memikirkan keluarga yang menuntut makan kepadaku. Kedua sedih memikirkan perintah Allah terhadapku. Ketiga sedih menghadapi bujukan syaitan terhadap ruhku. Dan keempat sedih memikirkan tuntutan malaikat terhadap ruhku," jawab Salman al-Farisi.
Mendengar penuturan Salman, Sayyidina Ali berusaha menenteramkan hati sahabatnya itu.
"Hai ayah Abdillah, bergembiralah. Keempat kesedihan itu justru akan menambah derajatmu," kata Sayyidina Ali.
Kemudian ia menceritakan perjumpaannya dengan Rasulullah saw. beberapa waktu lalu.
"Hai Ali, bagaimana kabarmu pagi ini?" tanya Rasulullah saw.
"Ya Rasulullah, aku berada di antara empat kesedihan. Pertama di rumah tidak ada apa-apa kecuali air. Aku sedih memikirkan keadaan anak-anakku. Kedua aku sedih memikirkan ketaatanku kepada Allah. Ketiga sedih memikirkan akibatku, dan keempat aku sedih memikirkan malaikat pencabut ruh," jawab Ali.
Kemudian Sayyidina Ali meneruskan ceritanya kepada Salman al-Farisi. Saat itu Rasulullah saw. berkata:
"Ketahuilah olehmu Ali, bahwa rezeki para hamba itu ada di tangan Allah sehingga kesedihanmu itu sama sekali tiada gunanya, karena tidak membahayakan dan tidak pula menguntungkan. Hanya saja kau mendapatkan pahala atas kesedihan yang menimpamu itu. Jadilah engkau orang yang bersyukur, taat, dan bertawakkal kepada Allah maka engkau termasuk sahabat-Nya."
|
Kisah Tentang Hikmah Menyantuni Keluarga |
"Atas apa aku bersyukur kepada Allah?" tanya Ali kepada Rasulullah saw.
"Atas agama Islam," jawab Rasulullah saw.
"Apa yang harus aku kerjakan?"
"Bacalah Laa haula wa laa quwwata illa billahil 'aliyil adzim."
"Lalu apa yang harus aku tinggalkan?"
"Jauhi amarah. Sesungguhnya meninggalkan amarah itu bisa memadamkan murka Allah, memberatkan timbangan, dan menuntun ke surga," jawab Rasulullah.
"Semoga Allah menambah kemuliaanmu, wahai Ali. Sesungguhnya aku ini sedih disebabkan beberapa hal, terutama dalam urusan keluargaku," keluh Salman al-Farisi kemudian.
"Hai Salman, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Barang siapa yang tidak memelihara keluarganya maka ia tidak mendapat bagian surga'."
"Tapi, bukankah Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa pemilik keluarga tidak akan bahagia selama-lamanya?" tanya Salman al-Farisi.
"Hai Salman, bukan itu yang dimaksud Rasulullah saw.," sahut Sayyidina Ali meluruskan maksud hadits Rasulullah saw. itu.
"Jika pekerjaanmu itu halal maka engkau pun bahagia. Surga teramat rindu kepada orang-orang yang susah dan sedih karena memperhatikan barang yang halal," kata Sayyidina Ali menutup pembicaraannya.
Pembicaraan antara Sayyidina Ali dengan Salman al-Farisi ini bersumber dari Sa'id bin al-Musayyab. Dari pembicaraan tersebut bisa diambil hikmah betapa pentingnya menyantuni keluarga itu sebagai tabir dari api neraka.